Moveon88 – Crystal Palace menciptakan sebuah cerita besar di dunia sepak bola Inggris dengan memenangkan trofi besar pertama dalam sejarah klub setelah mengalahkan Manchester City 1-0 di final Piala FA 2025 yang diadakan di Stadion Wembley. Kemenangan ini bukan hanya pencapaian yang monumental, tetapi juga menawarkan tiket untuk Liga Eropa musim depan, membuka bab baru dalam perjalanan ke klub London Selatan.
Gol boneka sederhana dalam pertandingan ini dicatat oleh Ebelechi Eze di babak pertama, dalam serangan balik yang sangat cepat dan efektif. Di sisi lain, Manchester City, tampaknya dominan dalam kepemilikan, tidak boleh mendapat manfaat dari berbagai peluang emas, termasuk hukuman di bar.
City Dominan tapi Tumpul
Dari menit awal pertandingan, Manchester City langsung menunjukkan ambisi mereka untuk menguasai jalannya pertandingan. Dalam 15 menit pertama, The Citizens mencatatkan hingga 88 persen penguasaan bola, menekan pertahanan Palace dari segala sisi. Kevin De Bruyne dan Bernardo Silva aktif mencari celah dengan umpan-umpan terobosan, sementara Phil Foden dan Erling Haaland mencoba membuka ruang di lini depan.
Namun semua dominasi itu seperti membentur tembok kokoh. Lini belakang Palace tampil sangat disiplin, mengusung pendekatan kompak dan terorganisir. Manajer Oliver Glasner tampaknya sudah mempersiapkan skema bertahan total yang sangat efektif menghadapi tekanan berlapis dari tim asuhan Pep Guardiola.
Eberechi Eze: Jantung Serangan Balik Palace
Puncak momentum datang pada menit ke-29. Dalam situasi yang tampaknya biasa saja, Palace melancarkan serangan balik secepat kilat hanya dalam waktu 13 detik dan sembilan sentuhan dari garis pertahanan sendiri. Dimulai dari tendangan gawang, bola melewati kaki-kaki Mateta dan Ayew sebelum akhirnya sampai ke Eberechi Eze yang melepaskan tembakan akurat ke pojok kanan gawang Ederson.
Gol tersebut menggambarkan efisiensi luar biasa Palace dalam memanfaatkan ruang. City yang terlalu tinggi menekan, tak menyisakan pelapis di lini tengah, terutama karena tidak adanya gelandang bertahan murni dalam starting XI mereka. Eze, dengan kelincahan dan kecerdikannya, tahu benar kapan harus menusuk dan melepaskan tembakan.
Skema serangan balik ini seperti mengulang keberhasilan Palace saat mengalahkan City 5-2 di pertandingan liga beberapa waktu lalu. Glasner seperti tahu titik lemah pasukan Guardiola dan mengeksploitasinya dengan sempurna.
Drama Penalti dan Tanda Tanya untuk Haaland
Salah satu momen paling mengejutkan dalam laga ini terjadi pada babak kedua, saat Manchester City mendapat hadiah penalti usai pelanggaran kontroversial di kotak 16 Palace. Namun yang menjadi perbincangan bukan hanya pelanggaran itu sendiri, melainkan keputusan mengejutkan untuk tidak memberikan penalti tersebut kepada Erling Haaland.
Omar Marmoush yang maju sebagai eksekutor justru gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Tendangannya terlalu tinggi dan melayang jauh dari target. Padahal, dalam laga penting seperti final, kehadiran sosok seperti Haaland di titik putih sangat dibutuhkan. Banyak pengamat menyebut ini sebagai blunder besar, terutama karena Haaland dikenal sebagai algojo yang jarang gagal.
Tidak adanya peran Haaland di momen sepenting ini memunculkan spekulasi yakni apakah ini keputusan taktik, persoalan kebugaran, atau masalah mentalitas? Guardiola belum memberikan penjelasan resmi, namun keputusan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu yang paling dipertanyakan dalam karier kepelatihannya.
Guardiola dan Eksperimen Taktik yang Gagal
Kekalahan ini juga membuka kembali pertanyaan tentang pendekatan taktik Pep Guardiola di laga-laga final. Dalam pertandingan ini, ia memutuskan untuk tidak menggunakan pola inverted full-back yang biasanya menjadi ciri khas permainan City. Sebagai gantinya, ia menempatkan bek sayap lebih melebar untuk memberikan ruang bagi gelandang-gelandang kreatif masuk ke area tengah.
Tapi strateginya sangat bervariasi. Ketika Palace meluncurkan serangan balik, tidak ada perlindungan yang cukup di tengah halaman. Kevin de Bruyne, yang ditarik lebih dalam dari tidak lebih cepat untuk memprediksi serangan, sementara Rodri, yang umumnya merupakan jangkar yang tidak ada karena akumulasi kartu.
Palace telah dengan cerdas membaca kesempatan ini. Mereka tidak mengambil risiko untuk melanjutkan bola, tetapi dengan sabar menunggu pada waktu yang tepat. Ketika City terlalu fokus pada serangan, Palace tiba -tiba membalas.
Oliver Glasner layak mendapat pujian terbesar dari pencapaian ini. Pelatih Austria berhasil membawa antusiasme baru ke tim Istana, mengubah mereka dari tim miskin sekolah dengan tentara yang terorganisir dan hidup. Kemenangan ini bukan hanya trofi pertama dalam sejarah klub, tetapi juga konfirmasi proyek jangka panjang yang telah dibangun Glasner sejak awal musim.
Palace sekarang akan muncul di Liga Eropa musim depan, yang tidak pernah mereka bayangkan sepuluh tahun yang lalu. Dengan Ebechi Eze, Michael Olise dan Jean-Philippe Mateta, yang terus berkembang, serta dukungan penuh dari para pendukung, masa depan istana tampak hebat.
Tanpa Gol, Tiket Ganda: Palestina Puncaki Grup A, Suriah Ikut Melaju ke Perempat Final Piala Arab Moveon88 – Laga…
Delap Cedera Bahu, Maresca Cemas: Chelsea Kehilangan Opsi No. 9 Jelang Atalanta Usai Imbang 0-0 Kontra Bournemouth Moveon88 –…
Athletic Bilbao Tekuk Atletico Madrid 1-0, Selisih Los Colchoneros dari Barcelona Melebar Moveon88 – Athletic Bilbao meraih kemenangan berharga…
Epilog Sang Rival Abadi: Mungkinkah Messi vs Ronaldo Terjadi Sebelum Final Piala Dunia 2026? Moveon88 — Piala Dunia FIFA…